Oleh: R.M. Tedy Aliudin, S.Si, MM (Raden Tedy), Wakil Ketua Umum Bidang Kewirausahaan UMKM Kadin Indonesia.
SEJAK akhir tahun 2024, terdengung rencana memberikan kemudahan akses UMKM untuk mendapatkan fasilitas Kredit perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan.
Ini menjadi kabar yang sangat baik dan sudah terbayang kemudahan apa yang akan diberikan, karena kendala UMKM pada BI Checking, Agunan, Laporan Keuangan, Transaksi di rekening Bank, perijinan usaha dan masih banyak lainnya.
Bahkan terbayang juga ketatnya pengaturan pencapaian target penyaluran kredit kepada UMKM, dengan ratio tertentu terhadap total kredit yang disalurkan Bank, seperti hal nya pernah terjadi dengan Peraturan Bank Indonesia nomor 23/13/PBI/2021, yang mengatur pemenuhan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) sejak posisi akhir bulan Juni 2024, meskipun inipun tidak tercapai.
Sesuai data Kredit UMKM pada Juni 2025 hanya 18.66% dari total kredit pihak ketiga atau sebesar Rp 1,503,625 milyar , dimana NPL Kredit UMKM sebesar 4.41%. Dengan kondisi NPL yang cukup besar ini, berdampak pada kendala dalam penyaluran Kredit UMKM, bahkan beberapa Bank melakukan stop ekspansi kredit UMKM.
Dengan kondisi tersebut, harapan besar ada pada ketentuan yang akan dikeluarkan OJK atas kemudahan akses kredit UMKM.
Pada 28 Agutus 2025, diterbitkanlah Peraturan OJK nomor 19 tahun 2025, tentang kemudahan akses pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Apa yang dibayangkan sebelumnya atas harapan pada peraturan OJK, ternyata jauh dari harapan, karena didalam POJK nomor 19 tahun 2025 tersebut tidak ada pembahasan detail tentang akses kemudahan yang dimaksud maupun yang diharapka.
Pada Bab I butir 6, tentang pengertian akses kemudahan Pembiayaan UMKM adalah kegiatan yang dilakukan oleh Bank dan/atau lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) untuk mendorong peningkatan akses UMKM guna mendapatkan Pembiayaan yang lebih mudah.
Dan pada Bab II pasal 2 butir 1 dijelaskan bahwa Kemudahan Akses Pembiayaan UMKM wajib dilakukan oleh Bank dan LKNB. Pada pasal 5 butir 1 dan 2 bahwa :
Bank atau LKNB yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis atau peringatan tertulis. Dalam hal Bank atau LKNB telah dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis atau peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tetap melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Bank atau LKNB dikenai sanksi administratif berupa larangan untuk menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru; pembatasan kegiatan usaha; pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau penurunan hasil penilaian tingkat kesehatan.
Sangat diyakini bahwa Bank atau lembaga keuangan non bank akan membuat dan menyiapkan akses kemudahan pembiayaan UMKM tersebut, namun sajauh mana realisasinya, tentu Bank memiliki strategi dan mitigasi tersendiri. Bisa jadi POJK ini dipenuhi bank atau lembaga keuangan non bank secara tidak maksimal.
Seperti yang kita ketahui bahwa UMKM didominasi oleh Usaha Mikro, dimana hasil survey dan kajian yang dilakukan oleh Bidang Kewirausahaan UMKM Kadin Indonesia bahwa tingkat penjualan rata – rata Usaha Mikro sebesar Rp 50 juta pertahun, dominan membutuhkan pembiayaan/ kredit modal usaha dibawah Rp 100 juta. Tidak sedikit usaha Mikro hanya membutuhkan kredit dibawah Rp 25 juta. Kredit Usaha Rakyat atau KUR sudah sangat mengakomodasi, dengan tingkat biaya dan suku bungan yang murah, namun terkendala masih banyak UMKM yang masuk kredit bermasalah di BI Checking dan permasalahan agunan, meskipun sudah diatur dalam Peraturan Menko Bidang Ekonomi RI no 1 tahun 2023 dimana pada pasal 14 butir 3 bahwa :
“Agunan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diberlakukan bagi KUR dengan plafon pinjaman sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Kemudian pada butir 5 bahwa :
“Dalam hal Penyalur KUR meminta agunan tambahan pada KUR dengan plafon pinjaman sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyalur KUR dikenakan sanksi berupa Subsidi Bunga/Subsidi Marjin KUR tidak dibayarkan atas Penerima KUR yang bersangkutan.”
Dalam POJK nomor 19 tahun 2025 tersebut, tidak ada satu kalimatpun dalam pengembangan kemudahan akses pembiayaan KUR, yang menjadi kendala UMKM dalam mendapatkan fasilitas Kredit KUR.
Semoga saja tulisan hanya praduga yang tidak terjadi, dan semoga Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank sungguh dapat mengakomodasi POJK 19 tahun 2025, dengan bukan hanya kemudahan akses, namun sungguh ekspansi kredit UMKM secara maksimal.
Dari kendala yang paling banyak dialami UMKM yaitu BI Checking, kedepan dapat dipikirkan bagaimana memberi kemudahan sekaligus memberi solusi penyelesaian atas kredit bermasalah UMKM. Misalkan Bank Himbara membentu secara bersama Bank UMKM yang bermasalah, untuk dilakukan langkah – langkah penyelamatan atau penyelesaian kreditnya, sekaligus memberikan kredit dalam rangka pengembangan usaha UMKM.
Memang tidak ada aturan yang melarang Bank/ Lembaga Keuangan Non Bank untuk memberikan kredit kepada Debiturnya, namun hampir tidak ada petugas kredit Bank yang berani memproses permohonan kredit debitur yang bermasalah, bahkan baru masuk Koll 2 saja, dengan menunggak beberapa hari saja.
Sumber Bank UMKM Bermasalah dapat dari Dana Kemitraan yang merupakan bagian dari Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang saat ini berganti dengan nama Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dari Bank Himbara, atau dapat mengajak Bank dan lembaga keuangan non bank lainnya.
Semoga kedepan, ratio kredit UMKM dapat ditingkagt sesuai cita – cita awal setidaknya mencapai 30%, agar perekonomian Indonesia bertumbuh 8%.