Ketika Algoritma Lebih Berdaulat Daripada Rakyat

oleh -1409 Dilihat
Benz Jono Hartono
banner 468x60

On
Demokrasi zaman now sudah pindah rumah. Ia tak lagi tinggal di gedung parlemen atau rapat-rapat elite politik.

Sekarang alamat resminya ada di Facebook, Instagram, TikTok, X (Twitter), dan WhatsApp grup keluarga.

banner 700x875

Dari sanalah urusan bangsa ini diatur, mulai dari jualan skincare abal-abal, debat politik ala warung kopi, sampai seruan aksi yang berujung lempar batu.

Jempol Lebih Berkuasa daripada Kursi DPR
Kalau dulu suara rakyat dihitung lewat kotak suara, kini lewat jumlah like, retweet, dan viewer. Satu orang dengan HP bisa lebih berpengaruh daripada pejabat yang duduk di kursi empuk DPR.

Bedanya, kalau pejabat butuh golden ticket dari partai, influencer hanya butuh lighting murah dan caption provokatif.

Demokrasi medsos ini bahkan lebih “efisien” daripada birokrasi negara.

Mau bikin bisnis? Cukup live streaming dan teriak “murah, murah, murah!” dagangan laris.

Mau jatuhin lawan? Tinggal bikin konten gosip setengah benar, setengah bohong, netizen bisa menghakimi sendiri.

Dari Hashtag ke Jalanan
Fenomena paling memukau adalah ketika hashtag jadi bahan bakar kerusuhan. Awalnya santai, trending topic soal harga beras, isu korupsi, atau kebijakan pemerintah yang bikin geleng-geleng kepala. Tapi setelah diviralkan, berubah jadi ajakan demo.

Masalahnya, demo ini seringkali tidak punya ujung. Dari niat mulia memperjuangkan keadilan, ujung-ujungnya bakar ban, lempar batu, dan selfie sambil teriak “revolusi!” untuk konten.

Demokrasi berubah jadi reuni akbar orang-orang yang frustasi tapi butuh panggung.

Demokrasi atau Dagelan?
Inilah titik lucunya, orang percaya medsos adalah suara rakyat.

Padahal, suara itu sering kali sudah direkayasa buzzer, pasukan cyber, atau akun anonim yang tidak jelas siapa pemiliknya.

Demokrasi medsos ini kadang lebih mirip pasar malam, ramai, bising, penuh tipu-tipu, tapi bikin ketagihan.

Mau cari kebenaran? Susah. Yang ada hanyalah siapa yang lebih cepat bikin narasi dramatis. Mau cari aspirasi rakyat? Sulit. Yang lebih kelihatan malah adu emosi, debat kusir, dan teori konspirasi.

Off
Demokrasi medsos adalah demokrasi dengan sistem “siapa paling viral, dia yang berkuasa”. Dari bisnis sampai demonstrasi, dari obral diskon sampai obral kebencian, semuanya diputuskan oleh algoritma.

Jika demokrasi klasik lahir dari perjuangan panjang rakyat melawan tirani, maka demokrasi medsos lahir dari kuota internet dan paket data unlimited malam hari.

Dan jika dibiarkan, bukan mustahil negara ini akan lebih sering terbakar oleh trending topic ketimbang api revolusi sejati.

Penulis: Benz Jono Hartono
(Praktisi Media Massa di Jakarta)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.